Tepi Barat – Dalam sebuah pengakuan yang mengejutkan, militer Israel mengakui bahwa pasukannya menggunakan ambulans untuk menyusup ke kamp pengungsi Balata di Nablus, Tepi Barat, pada Desember lalu.
Serangan ini berujung pada kematian tragis dua warga Palestina, termasuk seorang nenek berusia 80 tahun dan seorang pria muda berusia 25 tahun.Tindakan ini memicu gelombang kecaman internasional.
Rekaman CCTV menunjukkan momen ketika ambulans yang seharusnya menjadi simbol harapan dan penyelamatan justru digunakan untuk menyembunyikan operasi militer.
Insiden 19 Desember itu tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakpercayaan yang mendalam di antara warga Palestina yang terus hidup dalam bayang-bayang pendudukan.
Militer Israel berkilah bahwa penyelidikan sedang berlangsung untuk memeriksa penggunaan kendaraan medis dalam operasi tersebut serta dampaknya terhadap warga sipil.
“IDF berkomitmen dan bertindak sesuai dengan hukum internasional,” klaim mereka dalam laporan yang dirilis The Times of Israel. Namun, banyak pihak mempertanyakan komitmen ini.
Nicola Perugini, profesor hubungan internasional dari Universitas Edinburgh, menilai tindakan ini sebagai ironi yang menyakitkan.
“Militer Israel bersembunyi di balik ambulans untuk menyerang kamp pengungsi Balata. Ini adalah militer yang sama yang menghancurkan rumah sakit di Gaza dengan alasan palsu bahwa fasilitas medis tersebut digunakan sebagai pusat komando militer,” ujarnya.
Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk Palestina, dengan tegas menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa.
“Menggunakan ambulans untuk tujuan militer adalah pengkhianatan terhadap hukum internasional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang,” tulisnya.
Dia juga menambahkan bahwa Israel telah “secara sistematis mengabaikan hukum humaniter internasional, menjadikan perlindungan bagi warga sipil tidak lagi bermakna.”
Tragisnya, ini bukan pertama kalinya ambulans atau penyamaran sipil digunakan dalam operasi militer Israel di Tepi Barat. Januari lalu, pasukan khusus Israel yang menyamar sebagai dokter menyusup ke Rumah Sakit Ibn Sina di Jenin dan menewaskan tiga warga Palestina.
Di Gaza, klaim Israel bahwa rumah sakit digunakan oleh Hamas untuk tujuan militer juga terus diperdebatkan. Jaksa utama Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Andrew Cayley, menyebut bahwa klaim ini telah “sangat dibesar-besarkan.”
Menurut WHO, dari 35 rumah sakit di Gaza yang dievaluasi, sebagian besar kini rusak atau tidak berfungsi akibat serangan terus-menerus.Ketika rumah sakit seharusnya menjadi tempat perlindungan terakhir bagi korban perang, tindakan-tindakan ini menambah penderitaan rakyat Palestina. Dunia kini menunggu, akankah ada keadilan bagi mereka yang telah kehilangan nyawa dan harapan di tengah konflik yang tak kunjung usai?
Sumber: Quds News Network