Gaza – Serangan udara Israel kembali melanda Jalur Gaza, menyebabkan sedikitnya 88 korban jiwa, termasuk banyak anak-anak yang sedang tidur. Sementara itu, sekutu utama Israel, Amerika Serikat, sekali lagi memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata.
Menurut pejabat kesehatan Palestina, setidaknya 66 orang menjadi korban jiwa dalam serangan pada Kamis dini hari (19/11) yang menghantam permukiman di Beit Lahiya, Gaza Utara, yang sedang dalam kondisi terkepung.
Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, Hussam Abu Safia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sebagian besar korban jiwa “sedang tidur ketika serangan terjadi”.
“Banyak korban yang tiba, dan masih ada jenazah tergantung di dinding dan plafon. Mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan,” ungkapnya dalam sebuah pesan suara.
Tim rumah sakit segera menuju lokasi untuk mengevakuasi jenazah, mengumpulkan sisa-sisa tubuh, serta menyelamatkan korban yang terperangkap.
Namun, Abu Safia menambahkan, minimnya sumber daya dan ambulans membuat situasi semakin sulit.
“Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Kami tidak mampu menangani jumlah korban luka dan korban jiwa yang terus berdatangan,” ujar dokter spesialis anak tersebut.
Pada hari yang sama, setidaknya 22 orang, termasuk 10 anak-anak, juga menjadi korban jiwa dalam pengeboman di lingkungan Sheikh Radwan, Gaza City, menurut seorang juru bicara pertahanan sipil.
Resolusi Gencatan Senjata Kembali Diblokir oleh AS
Lebih dari 13 bulan serangan Israel di Gaza telah menyebabkan sekitar 44.000 korban jiwa, termasuk lebih dari 17.000 anak-anak, serta melukai 104.000 lainnya.
Dengan bantuan kemanusiaan yang sebagian besar terhenti, banyak warga Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan di tengah kepadatan wilayah tersebut.
Israel meluncurkan kampanye militernya setelah serangan yang dipimpin kelompok Hamas pada 7 Oktober tahun lalu menewaskan sekitar 1.139 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera sekitar 250 orang.
Sekitar 100 sandera dibebaskan setelah kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan setahun yang lalu, namun negosiasi sejak itu mandek.
Serangan terbaru pada Kamis malam terjadi beberapa jam setelah resolusi Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata dan pembebasan sandera gagal disahkan.
AS, sebagai anggota tetap, memberikan suara penolakan tunggal dalam sidang yang diikuti 15 anggota dewan tersebut. Ini merupakan keempat kalinya pemerintahan Presiden Joe Biden memveto resolusi semacam itu sejak perang dimulai.
Wakil utusan Robert Wood mengatakan, AS tidak dapat mendukung resolusi gencatan senjata tanpa syarat yang tidak mencakup pembebasan segera sandera di Gaza.
“Kami telah menegaskan selama negosiasi bahwa kami tidak dapat mendukung gencatan senjata tanpa syarat yang tidak mencakup pembebasan sandera,” ujarnya.
Sementara upaya internasional untuk mengakhiri pertempuran terus gagal, warga sipil Gaza menjadi pihak yang paling menderita, terutama di wilayah utara yang telah terkepung selama lebih dari enam minggu.
Israel mengklaim langkah ini dilakukan untuk mencegah Hamas kembali menguasai wilayah tersebut.
Di tengah pemboman yang terus berlanjut, warga Gaza juga berjuang menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin parah menjelang musim dingin.
Sebagian besar warga Palestina yang terusir akibat gelombang serangan Israel tinggal di tenda dan tempat penampungan darurat yang tidak memadai untuk menghadapi angin dingin dan hujan.
Dewan Pengungsi Norwegia memperingatkan bahwa lebih dari satu juta warga Gaza tidak memiliki tempat tinggal yang layak.
Kekurangan pangan juga menjadi masalah serius.
Sebagian wilayah dengan populasi 2,2 juta jiwa ini berada di ambang kelaparan, dan semakin banyak warga sipil yang mengalami kekurangan pangan akut.
Masuknya truk bantuan ke Gaza terhambat oleh otoritas Israel dan baru-baru ini oleh kelompok kriminal di wilayah yang dikuasai Israel, menurut laporan.
Sumber: Al Jazeera