Gaza – “Sheja’eia, Sheja’eia, tolong,” ujar seorang pria pengungsi di Deir al-Balah, Gaza tengah, kepada seorang sopir. “Inshaallah, suatu hari kita semua akan kembali ke tanah kita, saudara,” jawab sang sopir.
Pergi ke kawasan Gaza utara dilarang di tengah perang yang masih berlangsung. Namun, para pengungsi terus memohon kepada sopir untuk mengantarkan mereka ke sana sejak hari mereka dipaksa meninggalkan rumah.
Mereka melakukannya dengan harapan dan keyakinan bahwa suatu hari mereka akan kembali ke rumah dan tanah mereka.
Saat itu, saya sedang dalam perjalanan membeli permen untuk anak saya, Adam, yang sekitar sepuluh bulan setelah perang dimulai terus bertanya apa itu permen dan dari apa dibuatnya.
Dia baru berusia 4 tahun dan biasa makan permen sebelum perang. Namun, dengan kelaparan yang digunakan Israel sebagai senjata perang, orang-orang telah melupakan semua yang biasa mereka makan atau lakukan di masa damai.
Saya berkata kepadanya, “Adam, dulu Ayah selalu membelikanmu permen sebelum kita mengungsi. Apa kamu lupa?” Dia menjawab, “Aku tidak ingat apa-apa tentang itu. Tapi aku ingat ketika kita pergi ke mal dengan Ayah dan Ibu.”
Para pengungsi hidup dari kenangan, terus mengenang dan menceritakan hari-hari sebelum genosida ini.

Kisah Aya Nai’m
Aya Nai’m, seorang wanita berusia 30 tahun dari Jabalia, terpaksa mengungsi bersama suaminya pada Januari 2024 saat ia sedang hamil tujuh bulan. Sebulan kemudian, suaminya gugur dalam serangan Israel di Deir al-Balah.
“Aku sendirian saat melahirkan anakku, Yazan. Kini dia menjadi yatim piatu. Kami lari dari rumah kami di bawah ancaman Israel,” ujar Aya.Dia melanjutkan, “Aku tinggal di tenda di jalanan. Aku tidak punya uang. Keluargaku masih di utara, mereka satu-satunya yang aku miliki.”
Aya bermimpi kembali ke utara untuk berkumpul dengan keluarganya. “Rumahku telah dibom. Aku kehilangan segalanya. Tapi aku tidak kehilangan keyakinanku kepada Allah. Kami akan kembali, apa pun biayanya.”
Kehancuran dan Harapan di Gaza
Kehancuran, puing-puing, darah, jeritan, dingin, tenda, kelaparan, dan masa kecil yang hilang—itulah yang saya lihat di jalan-jalan Gaza setiap kali melangkah keluar.

Di Jalan Salah al-Din, ke mana pun Anda menghadap, yang terlihat hanyalah puing-puing.

Sebelum perang, saudara dan teman-teman berebut tempat di dekat jendela untuk menikmati pemandangan ladang hijau, pohon kurma, atau hanya melihat orang-orang yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari.Dalam perjalanan, saya melewati sebuah lapangan rumput.
Salah satu penumpang berkata, “Apakah ini tanda harapan? Akankah kita kembali ke tanah kita, menanamnya, dan membangun kembali rumah kita?”
Penumpang lain menjawab, “Kita pasti akan kembali. Percayalah kepada Allah. Penindasan tidak akan berlangsung selamanya, dan tanah ini akan kembali subur.”
Sopir menambahkan bahwa istri dan anak-anaknya kini menyimpan barang-barang dan pakaian mereka dalam tas. Saya bertanya, “Mengapa mereka melakukan itu?”
“Gencatan senjata akan segera diumumkan, kami harap,” katanya. “Aku juga ingin kembali ke rumahku, melihat teman-temanku, menghirup udara tanah kelahiran…”
Seseorang berkata, “Maksudmu untuk melihat kehancuran?” Sopir itu menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, “Hancur atau tidak, kami akan kembali. Kami mencintainya. Itu adalah Gaza! Jika mereka menawarkan semua uang di dunia, aku tetap akan memilih tinggal di sana.”
Sumber: Quds News Network