Tulisan ini akan kami buka dengan tweet Ustadz Akmal Sjafril, “Sejarah adalah ‘ilmu menangkap hikmah dari masa lampau’. Afrika Selatan jadi yang terdepan melawan Israel karena mereka punya pengalaman pahit Apartheid. Indonesia punya pengalaman dijajah sekian lama harusnya juga mampu jadi yang terdepan membela Palestina.” Ya, Hari ini Afrika Selatan sedang menyambut panggilan sejarahnya: menggugat zionazi di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida di Gaza.
Beberapa hari ini, kami tidak banyak memposting feed baru, sebab ada rasa bersalah dicampur malu, namun di saat yang sama juga lega dan bangga. Malu, karena Umat Islam sedang tidak punya muka di hadapan warga Gaza. Kita kalah tegas dengan Bolivia, Irlandia, aktivis-aktivis Eropa dan Afrika Selatan. Namun lega dan bangga, karena ternyata masih ada yang peduli pada permasalahan Gaza. Mari terus kita jaga rasa bersalah ini. Jangan kehilangan rasa malu ini, sebab inilah yang membuat kita terus berpacu perbaiki diri.
Afrika Selatan yang terkenal dengan ikon Nelson Mandela itu telah mengajukan gugatan pada International Court of Justice (ICJ) mengenai Israel dengan tuduhan sangat serius tentang pembantaian di Gaza. Sidang pertama digelar pada Kamis (11/1/2024) kemudian dilanjutkan pada hari Jumat (12/1/2024) dengan pihak zionazi menyampaikan argumen lisan mereka. Dokumen tim hukum Afrika Selatan juga menyinggung penggunaan bom berat hingga 2000 ton, terbesar dan paling destruktif dalam sejarah.
Para jurnalis dan netizen internasional menyebut para tim hukum Afrika Selatan yang berani menyampaikan fakta itu sebagai “True Heroes of Humanity.” Mendengarkan tim Afrika Selatan menyampaikan satu demi satu kebenaran di hadapan dunia itu merupakan pengalaman yang emosional, mengharukan, dan meneguhkan. Seorang netizen mengomentari, “Kebenaran tidak akan pernah menjadi usang, ia akan selalu menang, jika tidak dalam gema kekuasaan, ia akan beresonansi dengan setiap hati manusia.”
Namun yang paling menyita perhatian kami, adalah apa yang respon para ulama dunia Islam dan jurnalis Arab yang melihat keberanian Afrika Selatan membela Palestina. Adham Abu Salmiyyah, seorang jurnalis Gaza menyampaikan, “ketika ada masanya Quraisy mengecewakan Muhammad ﷺ, maka Raja Najasyi-lah yang menolongnya.” Kemudian di akhir kalimat, ia menulis, “sejarah selalu mengulang dirinya”, sembari diimbuhi bendera Palestina dan Afrika Selatan.
Sejarah memang mengesankan untuk ditadabburi. Dulu di zaman perjuangan Rasul ﷺ, ada seorang raja adil dan pemberani dari Benua Afrika yang menerima kedatangan rombongan Kaum muslimin. Rasul ﷺ pun secara lugas menggambarkan sifat raja itu, “di Habasyah, ada seorang raja yang tidak akan menzalimi siapapun.” (Fathul Bari) Raja itu bergelar Najasyi, dan nama aslinya adalah Ashamah bin Abjar. Ashamah menjadi ikon Afrika pertama dalam sejarah Islam setelah Bilal bin Rabah. Dan dari keduanya, ada pelajaran yang sangat istimewa.
Raja Najasyi adalah penguasa kerajaan Axum di Afrika Timur. Ia seorang Nasrani yang taat dan paham pula pada sejarah. Beliau menolak semua hadiah dan segala bentuk usaha musyrikin Quraisy yang berusaha untuk memulangkan Kaum muslimin yang hijrah ke negerinya. Bahkan sekelas Amr bin Ash yang kala itu masih musyrik pun diplomasinya gagal menghadapi Najasyi. Sikap tegas itulah kini yang digambarkan dengan apik oleh “The Next Najasyi”, Afrika Selatan.

Di saat dunia Islam tak banyak berbuat, lembek dan menutup mata, hadirnya Afrika Selatan benar-benar menjadi pemain penting yang membela Palestina. Jurnalis senior Aljazeera, Ahmad Mansour mengulas lugas, “Kinerja tim hukum Afrika Selatan di hadapan Mahkamah Internasional merupakan sebuah simfoni hukum yang gagah yang mengungkap Israel dan kejahatannya di hadapan dunia dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Jika mereka memutuskan jadi Najasyi baru, maka, maukah kamu menjadi Hassan bin Tsabit baru yang tak kenal lelah membela kebenaran dengan narasi ?
Sumber : Gen saladin
Referensi:
- Aljazeera Arabic
- Rassd News
- Ahmad Mansour, Jurnalis Aljazeera
- Adham Abu Salmiyyah, Jurnalis Gaza