Namaku Enas, seorang warga Palestina yang selamat dari agresi brutal Israel di Gaza. Saat aku menulis ini, aku merenungi genosida yang tak henti-hentinya meluluhlantakkan hidup kami, memaksa keluargaku dan aku untuk terusir dari rumah kami—untuk keenam kalinya.
Pada 7 Mei, pendudukan Israel memerintahkan kami meninggalkan rumah di Rafah untuk sebuah operasi yang mereka sebut “terbatas” dan “tepat sasaran.”
Tapi begitu kami melangkahkan kaki keluar, rasanya seperti ada pecahan kaca yang mengoyak tenggorokanku, membuatku bisu tak bisa berkata-kata.
Setelah perintah evakuasi itu, kami berlindung di rumah pamanku. Dalam perjalanan, aku melihat ribuan manusia terkapar di jalanan, tidur di bawah langit terbuka. Sebagian beruntung memiliki tenda.
Hatiku terasa sesak, aku menutup jendela mobil—tak siap menerima kenyataan kelam yang menanti kami.Tiga hari kemudian, kami diusir lagi.
Kami harus meninggalkan tempat perlindungan dan menuju Khan Younis. Kami mencari rasa aman, namun di Gaza, tak ada tempat yang aman.
Seperti ribuan lainnya, kami terpaksa mendirikan tenda darurat. Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa rumah baruku kini hanya sekadar ruang 4×4 meter.
Dapur, kamar tidur, ruang tamu, dan kamar mandi, semuanya tergabung dalam satu ruang kecil yang pengap.
Kupikir, bulan Mei, Juni, dan Juli adalah masa-masa tergelap dalam hidupku. Namun, mimpi buruk belum usai. Pada 25 Juli, pengungsian ketiga kami membuat sebagian keluargaku terdampar di jalanan.
Kami pindah ke Al-Mawasi, tapi hatiku tahu, perang akan segera mengetuk pintu kami lagi.
Naluri itu benar adanya. Kami menyaksikan pemandangan yang tak bisa kubayangkan. Peluru-peluru Israel berdesing di atas kepala kami, sementara malam terakhir kami di Al-Mawasi diisi doa-doa penuh ketakutan.
Satu jam kemudian, teriakan pecah, kami mendapati seorang gadis kecil terluka di kepalanya akibat peluru quadcopter Israel.
Semua ini terjadi di tempat yang diklaim sebagai “zona aman”.
Kami pindah lagi, kali ini ke tanah kerabat di Khan Younis. Sebelum kami sempat mendirikan tenda, keluargaku berhasil menyewa sebuah apartemen.
Meskipun ada tempat berlindung, dinding-dinding apartemen itu seolah menjeratku. Bagaimana bisa aku merasa asing di dalam rumah setelah tiga bulan bertahan hidup di tenda, terbakar di bawah terik matahari Gaza? Semuanya terasa salah. Ini bukan rumahku.
Seorang wanita tua, Om Nahed, pemilik apartemen itu, menawarkan ovennya kepada ibuku untuk memanggang roti.
Keesokan harinya, saat ibuku memanggang, wanita tua itu mencurahkan luka hatinya. “Salah satu anakku hilang sejak Januari lalu, dan satu lagi tewas saat mencarinya. Ini semua kisah hidupku, sayang.”
Namun, mimpi buruk kami belum selesai. Pada malam 28 Agustus, pukul 11, kami dikepung oleh tank-tank Israel, sementara drone-drone mereka menembakkan peluru dan bom menghujani sekitar kami.
Untuk kesekian kalinya, Israel mengklaim ini adalah “operasi” di daerah itu. Kami selamat malam itu.
Pada 11 Agustus, kematian hampir menjemput kami. Dalam sekejap mata, dua misil besar menghancurkan apartemen sewaan kami. Atap runtuh, dan asap pekat memenuhi langit.
Kami merangkak melalui reruntuhan, berhasil melarikan diri, namun iparku terperangkap. Ibuku dan seorang asing berhasil menariknya keluar tepat waktu. Dia menderita luka bakar dan patah tulang, namun dia bertahan hidup.
Keesokan harinya, kami berbincang tentang apa yang akan kami lakukan jika kami tahu hal-hal yang mengerikan ini akan terjadi.
Jawaban kakakku mengejutkanku; dia mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan dua anaknya tepat sebelum bom kedua menghantam.
Saat ibuku bercerita bagaimana dia menyelamatkan iparku, aku tak mampu menahan air mata. “Aku tak tahu dari mana kekuatanku untuk mengangkat puing-puing dari tubuh Nora,” ucapnya.
“Rasanya seperti mengangkat busa, bukan batu. Demi Allah, itu adalah sebuah keajaiban.”
Keponakanku yang berusia tiga tahun, Yazan, kini tak lagi bisa berbicara lancar. Trauma akibat terkubur di bawah reruntuhan menggores jiwanya.
Pertanyaan-pertanyaan polosnya menusuk hati kami: “Apakah kita akan menghukum orang Israel karena menghancurkan dinding kita? Aku ingin menghancurkan dinding mereka seperti yang mereka lakukan.” Ia bertanya lagi, “Ke mana mereka membawa Nora?”
Aku masih sulit mempercayai bahwa aku masih hidup.
Setelah dua serangan udara yang mematikan, aku masih dikelilingi oleh keluargaku. Kejahatan yang dahulu hanya kudengar dari jauh, kini menjadi bagian dari hidupku.
Meskipun begitu banyak yang telah hilang, kami masih menyimpan secercah harapan. Harapan untuk pulang ke rumah yang telah lama kami tinggalkan.Jika aku bisa mengucapkan satu doa, doa itu adalah agar genosida ini berakhir.
Pesanku kepada dunia adalah: berdirilah bersama Gaza. Ketika kalian berdiri bersama Gaza, kalian berdiri bersama lebih dari dua juta orang Palestina yang hak-haknya telah direnggut.
Kalian bisa membantu rakyat Gaza dengan turun ke jalan, menyuarakan kesadaran tentang Palestina, mendukung warga sipil yang tak bersalah, mengecam kejahatan kemanusiaan Israel, dan memboikot perusahaan serta produk Israel yang mendanai pembantaian ini. Bersama-sama, kita bisa membuat perubahan. (Enas Wajeeh)
Sumber: Quds News Network